Masyarakat Sunda Pernah Melupakan Aksaranya
Masyarakat Sunda Pernah Melupakan Aksaranya. Konon, bangsa Cina telah mempunyai aksara sejak 3.000 atau 2.000 tahun sebelum Masehi. Sedangkan bangsa India telah memiliki aksara sejak kira-kira 800 tahun sebelum Masehi. Tetapi, percaya atau tidak, etnis Sunda malah pernah melupakan aksaranya sendiri lalu ironisnya malah mengadopsi aksara dari Jawa. BAHKAN sampai sekarang, yang disebut aksara Sunda adalah hanacaraka masih banyak yang mengakui. Mau tahu? Coba saja jalan-jalan di Kota Tasikmalaya, sebuah daerah yang selama ini dijadikan pusat pertumbuhan di wilayah Priangan Timur, Jawa Barat. Setiap kita menemukan petunjuk nama jalan, di bawah aksara Latin selalu ditulis dengan aksara hanacaraka.
Aksara tersebut selama dua ratus tahun lebih dianggap sebagai aksara Sunda. Selain untuk kepentingan administrasi lokal, aksara hanacarakatersebut sampai tahun 1950-an masih diajarkan sebagai aksara Sunda disekolah-sekolah menengah. "Karena cara menulisnya susah, sebagian daritugas sekolah saya tulis dengan huruf Latin," Gubernur HR Nurianamengungkapkan pengalaman masa kecilnya di depan lebih dari 600 peserta Konferensi Internasional Budaya Sunda (KIBS) di Bandung.
Ketika guru meminta Nuriana muda membacakan hasil pekerjaannya, tentu saja ia bisa membacanya dengan lancar. Namun, rupanya hal itu membuat gurunya curiga. Ia kemudian memeriksa pekerjaan muridnya yang nakal. "Akhirnya, saya disetrap di depan kelas karena separuh dari tugas tersebut ditulis dengan huruf Latin," katanya terkekeh-kekeh.
Yang dimaksud dan telanjur disebut aksara Sunda hanacaraka adalah aksara yang diambil dari aksara Jawa atau biasa disebut carakan. Tetapi, di lidah orang Sunda kemudian menjadi cacarakan. Di beberapa daerah, aksara tersebut sering dianggap mempunyai nilai sakral. Buktinya, di beberapa masyarakat adat masih ada yang menggunakannya untuk menentukan hari baik atau hari buruk untukmelaksanakan atau menyelenggarakan kegiatan mereka. Aksara tersebut kemudian dikonversi menurut angka-angka sesuai dengan urutan abjadnya.
ADOPSI yang dilakukan masyarakat Sunda terhadap aksara Jawa bukan berarti sebelumnya mereka tidak memiliki kecakapan menulis. Jauh sebelum itu, Kepala Museum Sri Baduga Jawa Barat Tien Wartini mengungkapkan, tradisi tulis pada masyarakat Sunda telah berlangsung dalam rentang waktu yang amat panjang.
Bahkan sebelum mengenal aksara, masyarakat Sunda telah mengenal simbol-simbol yang digoreskan pada batu, seperti yang ditemukan di Kampung Kuta, Desa Pasawahan, Kecamatan Cicurug, Kabupaten Sukabumi. Hingga kini, goresan berupa simbol tersebut masih digunakan oleh masyarakat Badui pada kolenjer, yakni alat perhitungan waktu untuk pranatamangsa atau kalender pertanian dan waroge, yakni alat untuk mengusir roh jahat ketika nukuh yang merupakan salah satu rangkaianupacara dalam proses menanam padi.
Akan tetapi, kecakapan menulis dalam arti menggunakan aksara, sudah dikenal sejak abad ke-5 Masehi, bersamaan dengan masuknya pengaruh Hindu di Jawa Barat yang kemudian memperkenalkan aksara Pallawa. Di Jawa Barat ditemukan sebanyak 29 prasasti dan 25 prasasti di antaranya berasal dari masa Kerajaan Sunda.
Empat prasasti yang berasal dari Kerajaan Tarumanagara masing-masing Prasasti Kebon Kopi, Prasasti Ciaruteun, Prasasti Cidanghiang, dan Prasasti Tugu bisa membuktikan hal ini. Prasasti Kebon Kopi ditemukan di kebun kopi milik Jonathan Rig, dibuat sekitar 400 Masehi (H Kern 1917).
Sementara Prasasti Ciaruteun ditemukan pada aliran Sungai Ciaruteun, merupakan salah satu bukti paling terkenal tentang kehadiran Kerajaan Tarumanagara di Jawa Barat. Sedangkan Prasasti Cidanghiang yang ditemukan di aliran Sungai Cidanghiang, sebuah sungai yang mengalir di Desa Lebak, Kecamatan Munjul, Kabupaten Pandeglang, Banten, isinya merupakan pujian kepada Raja Purnawarman. Prasasti Tugu ditemukan di Kampung Batutumbu, Desa Tugu, Kecamatan Tarumajaya, Kabupaten Bekasi.
Prasasti tersebut isinya menerangkan penggalian Sungai Candrabaga oleh Rajadirajaguru dan penggalian Sungai Gomati oleh Purnawarman pada tahun ke-22 masa pemerintahannya.
Selain aksara Pallawa yang menjadi cikal bakal aksara-aksara daerah di Nusantara, masyarakat juga mengenal aksara lainnya, yaitu aksara tipe Pranagari yang berasal dari India utara. Di Jawa Barat, aksara tipe ini dapat dibuktikan melalui teks-teks naskah yang berlatar belakang Buddhis. Misalnya Kunjakarna, Serat Catur Bumi, Serat Dewa Buddha, dan lainnya.
Tinggalan yang masih bisa kita saksikan saat ini yang berkaitan dengan agama Buddha adalah Kabuyutan Ciburuy di Kecamatan Bayongbong, Kabupaten Garut. Di sana masih tersimpan naskah-naskah dari lontar maupun nipah serta alat-alat untuk membuatnya, berupa peso pagot dan gunting untuk memotong daun.
BUKTI-bukti kreativitas tradisi tulis pada masyarakat Sunda itu bisa disaksikan pada pameran di Museum Negeri Sri Baduga Jawa Barat yang diselenggarakan bersamaan dengan Konferensi Internasional Budaya Sunda (KIBS) di Bandung. Dalam pameran tersebut, selain ditampilkan aksara Pallawa, juga ditampilkan aksara Sunda kuna dan Jawa kuna.
Aksara Sunda kuna pada awalnya merupakan perkembangan dari aksara tipe Pallawa Lanjut yang mengacu pada model aksara Kamboja dengan beberapa ciri yang masih melekat dari pengaruh tipe aksara prasasti-prasasti zaman Tarumanagara, sebelum mencapai taraf modifikasi bentuk khasnya sebagaimana yang digunakan naskah-naskah (lontar) abad ke-16.
Penggunaan aksara Sunda kuna dalam bentuk paling awal antara lain dijumpai pada prasasti-prsasasti yang terdapat di Astanagede, Kecamatan Kawali, Kabupaten Ciamis, dan Prasasti Kebantenan yang dijumpai di Kabupaten Bekasi. Perkembangan aksara Sunda kuna yang dinilai telah mencapai tahap modifikasi yang lebih mantap ditemukan dalam naskah-naskah lontar abad ke-16.
Kenyataan ini sekaligus memperlihatkan kreativitas masyarakat Sundadalam kegiatan menulis. Penggunaan aksara tersebut dinilai cukup lama karena sampai pertengahan abad ke-18 masih digunakan dalam menulis naskah Waruga Guru.
SELAIN aksara Jawa kuna sebagaimana dijumpai pada Prasasti Cibadakatau Sanghyang Tapak dan Prasasti Huludayeuh dan Batutulis, dengan masuknya Islam, maka masyarakat Sunda mulai mengenal aksara Arab dan aksara Arab Pegon yang biasa digunakan untuk teks berbahasa Sunda atau Jawa.
Dalam naskah-naskah Sunda, aksara Pegon memakai tanda vokalisasi. Jika ada naskah Sunda yang beraksara Pegon atau aksara Arab tanpa vokalisasi, aksara itu disebut aksara Gundil atau aksara Arab Gundul.
Masyarakat Sunda makin melupakan aksara yang diciptakan nenek moyangnya sendiri dengan digunakannya aksara Cacarakan. Aksara yang diadopsi dari aksara Jawa modern yang biasa disebut carakan itu oleh Coolsma (1904) disebut aksara Sunda-Jawa.
Model aksara tersebut pada mulanya diusahakan oleh Grashuis pada tahun 1860 yang membuat pedoman menuliskan bahasa Sunda dengan aksara carakan
dalam bukunya Handleiding voor het Aanleren van het Soendaneesch Letterschrift. Dengan demikian, sejak itu yang disebut aksara Sunda tidak lain adalah dari model aksara Carakan Jawa yang terdiri dari 18 buah aksara ngalagena karena dalam tatafenom bahasa Sunda tidak dibedakan antara lambang bunyi da dengan dha dan ta dengan tha.
Tahun 1927, R Djajadiredja menyusun ejaan bahasa Sunda dengan aksara Cacarakan yang kemudian diikuti dengan buku pedoman khusus untuk Sekolah Rendah (SR) yang disusun Soeria Di Radja dengan judul Tjatjarakan dan dicetak di Groningen-Batavia: JB Wolters Uitgeversmaatschappij NV tahun 1930 lalu disusul cetakan kedua pada tahun 1948. Pada tahun 1935 terbit sebuah buku bacaan Langensari karya Rd Rangga Sastraatmadja, Soeria Di Radja dan Raden KanduruwanSoerapoetra.
Masyarakat Sunda memasuki babak baru dengan dikenalnya aksara Latin yang masuk bersamaan dengan kehadiran bangsa Belanda dan bangsa-bangsa Eropa lainnya pada abad ke-16. Sekitar satu abad kemudian, aksara
Latin mulai digunakan dengan aksara Arab Gundul dan aksara Cacarakan sebagaimana terdapat dalam Surat Keputusan Kompeni dan para penguasa di Cirebon pada tanggal 3 November 1705 dan 9 Februari 1706.
Aksara Sunda kuna yang terlupakan selama lebih dari sepuluh abad, barulah memperoleh pengukuhan sebagai warisan nenek moyang masyarakat Sunda pada pertengahan tahun 1999 setelah sebelumnya melewati dua kali diskusi panjang pada tahun 1997.
Sebagaimana tertuang dalam Peraturan Daerah No 6 Tahun 1996 tentang Pelestarian, Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Sastra dan Aksara Sunda antara lain disebutkan, aksara Sunda adalah sistem ortografi hasil kreasi masyarakat Jawa Barat yang meliputi aksara dan sistem pengaksaraannya untuk menuliskan bahasa Sunda. Sedangkan salah satu fungsinya antara lain sebagai lambang jati diri dan kebanggaan daerah.
(Her Suganda)
Sumber: http://www.hamline.edu/apakabar/basisdata/2001/08/23/0045.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar